“Yakin prosedurnya seperti itu Calla?”
“Ehhh. Yakin sepertinya, pak.”
Terlihat jelas keraguan dalam
jawaban Calla saat menjawab pertanyaan dari Pak Yono. Hari ini Calla sedang
ujian praktikum. Sebagai seorang mahasiswa keperawatan semester 4, harusnya dia
menguasai prosedur suction dengan
benar. Sayangnya, dia terlalu tegang saat melakukan prosedur penghisapan dahak
dengan mesin itu. Dengan putus asa, dia keluar dari ruang ujian. Raut wajahnya
jelas memperlihatkan penyesalan.
Mengapa
aku semalam tidak belajar? Ah, sepulang rapat kan aku lelah sekali. Apalagi
kemarin di toko ada banyak sekali pelanggan yang harus dilayani.Jadi wajar dong
kalau sesampainya di rumah aku langsung tidur?
Calla terus menerus menyalahkan dirinya
sepanjang perjalanan menuju gazebo. Hari itu memang akan ada rapat di gazebo.
Sebagai sie acara pada kegiatan bakti sosial, dia harus mempersiapkan banyak
hal. Calla memang sudah biasa berorganisasi, dia seorang aktivis yang banyak
dikenal oleh teman-teman di kampusnya. Sayangnya, hal ini bukanlah hal yang
bisa dibanggakan oleh ibunya, karena nilai Calla yang justru semakin menurun.
“Baiklah, hari ini kita akan membahas
progress dari masing-masing sie, mulai dari sie acara, bagaimana Calla?”
“Eh, iya, maaf. Rundown acara sudah saya
persiapkan kok, nanti akan saya jelaskan lebih rincinya”
Sepanjang rapat, Calla sama sekali tidak
konsentrasi. Dalam pikirannya hanya ada penyesalan tentang ujian praktikum
tadi. Ini bukan pertama kalinya dia gagal dalam ujian, apalagi ibunya sudah
memperingatkan Calla untuk tidak lagi gagal dalam ujian. Jika dia gagal lagi,
bisa-bisa ibunya melarang Calla untuk aktif dalam berorganisasi.
“Calla, kalau kamu sedang ada masalah
atau butuh bantuan, cerita aja ke aku”
“Aku baik-baik aja kok, Dylan”
“Kamu sakit? Mau aku antar pulang?”
“Aku sehat, enggak perlu repot-repot,
aku pulang sendiri aja, aku pulang ke toko ibuku kok”
“Baiklah, hati-hati di jalan ya..”
Calla sebenarnya iri pada Dylan. Dia
aktif berorganisasi, tapi hampir semua nilainya A. Sebagai seorang calon
dokter, orangtuanya pasti bangga memiliki anak seperti Dylan. Ibu Calla saja
pasti senang sekali kalo anaknya seperti Dylan, buktinya Calla merasa dia
sering dibandingkan dengan Dylan oleh ibunya. Sayangnya, Calla bukan tipe anak
seperti Dylan, untuk mendapatkan nilai B saja, dia merasa kesulitan.
Seperti biasa, Calla berjalan kaki
menuju toko ibunya yang tak jauh dari kampus. Setiap sore Calla membantu ibunya
di toko yang menjadi satu-satunya sumber penghasilan keluarga mereka. Ayah
Calla sudah meninggal sejak dia masih duduk di sekolah dasar, jadi ibu Calla
yang harus menjadi tulang punggung keluarga mereka.
Sampai di toko, Calla menghempaskan
tubuhnya di atas kursi, melemparkan tas dan sepatunya secara sembarangan. Calla
sudah siap mendengar omelan ibunya kalau tahu dia gagal lagi. Dia sudah
terbiasa dengan hal itu, terkadang nasehat ibunya hanya masuk ke telinga kanan
dan keluar dari telinga kiri begitu saja.
“Bagaimana ujian kamu hari ini Calla?”
Tuh
kan, ibu nanya tentang ujianku. Kapan ibu nanya tentang kegiatanku di kampus?
Kenapa ibu tidak bisa bangga memiliki anak aktivis seperti aku?
“Aku.. gagal, bu”
“Calla, kamu sudah mahasiswa kan? Kamu
seharusnya bisa bagi waktu dengan benar, kalau memang ada kegiatan di kampus,
kamu juga tetap tidak boleh lupa belajar. Sekarang kamu belajar sana! Ibu harus
mengunjungi teman ibu yang sedang sakit, minta tolong jaga tokonya sebentar ya,
nak”
Katanya
di suruh belajar, tapi kok di suruh jaga toko juga sih? Nyebelin.
Calla merengut, dia berdiam diri di toko
hingga dia merasa bosan. Dia memutuskan menutup tokonya dan berjalan-jalan
sebentar. Bunyi kendaraan yang berlalu-lalang sama sekali tidak mengusik Calla
yang sedang membayangkan ibunya bisa bangga terhadapnya dan tidak hanya
marah-marah. Dia berjalan tanpa arah, dan berusaha menikmati langit yang
semakin gelap.
“Kak, kakak mau beli koran?”
“Eh? Ini kan sudah hampir malam, adik
kok masih jualan koran?”
“Koranku hari ini belum habis terjual
kak, dan aku belum bisa makan”
Kasian,
anak ini. Dia harus jualan Koran dulu baru bisa makan? Terkadang, dunia ini
memang tidak adil, ya.
Calla mengambil selembar uang di
dompetnya dan membeli koran anak itu. Dia sebenarnya tidak suka membaca koran,
tapi siapa yang tidak kasian melihat anak yang seharusnya bermain riang ini
justru berjualan koran untuk menyambung hidup? Anak kecil itu tersenyum.
“Oh ya, ini kakak ada roti buat kamu”
“Wah, makasih banyak kak! Kak, kakak
sedang sedih ya?”
“Eh? Sok tau nih kamu..”
“Kakak habis putus sama pacarnya ya?
Hihihi”
“Ih, masih kecil udah ngerti pacaran
lagi kamu ini. Haha. Kakak cuma sedih karena gak bisa membuat ibu kakak
bangga..”
“Kenapa kak? Dari dulu aku ingin bisa
membuat ibu ku bangga kak”
“Kamu pasti bisa membuat ibu kamu
bangga”
“Aku belum pernah bertemu ibu, kak”
Calla terenyuh. Dia tidak menyangka
bahwa anak di sampingnya ini jauh lebih tidak beruntung darinya. Wajah anak itu
terlihat tegar. Anak itu, mungkin hanya satu di antara ribuan anak lain yang
tidak bisa menikmati indahnya pelukan ibu.
“Tapi aku yakin, suatu saat nanti, aku
akan bertemu ibu, dan aku akan membuatnya bangga kak!”
“Iya, kamu pasti bisa bertemu dengan
ibumu dan membuatnya bangga”
“Iya, kakak jangan sedih ya..”
“Terima kasih, kakak merasa bahagia
sekali. Mungkin kakak hanya kurang mensyukuri nikmat yang ada. Oh, ya. Kalau
koran kamu belum terjual, kamu main aja ke toko kakak di sana”
“Iya, pasti kak! Aku pergi dulu ya kak.
Terima kasih banyak”
Harusnya
aku yang berterima kasih, dik.
Bayangan anak kecil itu perlahan hilang
dari pandangan Calla. Dia bergegas kembali ke toko sambil menghapus air matanya
yang mengalir tanpa dia sadari. Calla hanya ingin pulang, memeluk ibunya. Itu
saja.
“Callaaa! Kamu dari mana saja? Ibu kan
menyuruhmu menjaga toko!”
“Ibu”
Calla berlari menuju ibunya, kemudian
memeluknya. Air mata Calla mengalir. Emosi ibu Calla seketika hilang, dia
membelai putri satu-satunya itu dengan lembut. Untuk beberapa saat, Calla
merasakan sesuatu yang membuat dirinya lebih kuat.
“Calla, ibu bangga punya anak seorang
aktivis seperti kamu. Tapi, seorang pemimpin yang baik itu pasti bisa memimpin
dirinya sendiri. Dia pasti bisa membagi waktunya dengan baik, kapan dia harus
memikirkan dirinya, dan kapan memikirkan orang lain. Ibu mengerti apa yang
Calla rasakan, jadi kamu harus tetap berusaha untuk menjadi lebih baik, ya”
“Bu.. Calla janji akan membuat ibu
bangga”
Janji itu bukanlah sekedar ucapan yang
biasa Calla katakan kepada ibunya. Calla bersungguh-sungguh kali ini. Dia tidak
ingin lagi melihat ibunya kecewa. Dia yakin, suau hari nanti ibunya akan
tersenyum bangga melihat kesuksesan Calla.
inspiratif banget ya.
BalasHapusini cerpen kan?
pesan moralnya dapat banget ini
iya cerpen.. makasih yaa :)
Hapus