11/23/2013


           “Yakin prosedurnya seperti itu Calla?”
“Ehhh. Yakin sepertinya, pak.”
            Terlihat jelas keraguan dalam jawaban Calla saat menjawab pertanyaan dari Pak Yono. Hari ini Calla sedang ujian praktikum. Sebagai seorang mahasiswa keperawatan semester 4, harusnya dia menguasai prosedur suction dengan benar. Sayangnya, dia terlalu tegang saat melakukan prosedur penghisapan dahak dengan mesin itu. Dengan putus asa, dia keluar dari ruang ujian. Raut wajahnya jelas memperlihatkan penyesalan.
Mengapa aku semalam tidak belajar? Ah, sepulang rapat kan aku lelah sekali. Apalagi kemarin di toko ada banyak sekali pelanggan yang harus dilayani.Jadi wajar dong kalau sesampainya di rumah aku langsung tidur?
Calla terus menerus menyalahkan dirinya sepanjang perjalanan menuju gazebo. Hari itu memang akan ada rapat di gazebo. Sebagai sie acara pada kegiatan bakti sosial, dia harus mempersiapkan banyak hal. Calla memang sudah biasa berorganisasi, dia seorang aktivis yang banyak dikenal oleh teman-teman di kampusnya. Sayangnya, hal ini bukanlah hal yang bisa dibanggakan oleh ibunya, karena nilai Calla yang justru semakin menurun.
“Baiklah, hari ini kita akan membahas progress dari masing-masing sie, mulai dari sie acara, bagaimana Calla?”
“Hei Calla? kok bengong?”
“Eh, iya, maaf. Rundown acara sudah saya persiapkan kok, nanti akan saya jelaskan lebih rincinya”
Sepanjang rapat, Calla sama sekali tidak konsentrasi. Dalam pikirannya hanya ada penyesalan tentang ujian praktikum tadi. Ini bukan pertama kalinya dia gagal dalam ujian, apalagi ibunya sudah memperingatkan Calla untuk tidak lagi gagal dalam ujian. Jika dia gagal lagi, bisa-bisa ibunya melarang Calla untuk aktif dalam berorganisasi.
“Calla, kalau kamu sedang ada masalah atau butuh bantuan, cerita aja ke aku”
“Aku baik-baik aja kok, Dylan”
“Kamu sakit? Mau aku antar pulang?”
“Aku sehat, enggak perlu repot-repot, aku pulang sendiri aja, aku pulang ke toko ibuku kok”
“Baiklah, hati-hati di jalan ya..”
Calla sebenarnya iri pada Dylan. Dia aktif berorganisasi, tapi hampir semua nilainya A. Sebagai seorang calon dokter, orangtuanya pasti bangga memiliki anak seperti Dylan. Ibu Calla saja pasti senang sekali kalo anaknya seperti Dylan, buktinya Calla merasa dia sering dibandingkan dengan Dylan oleh ibunya. Sayangnya, Calla bukan tipe anak seperti Dylan, untuk mendapatkan nilai B saja, dia merasa kesulitan.
Seperti biasa, Calla berjalan kaki menuju toko ibunya yang tak jauh dari kampus. Setiap sore Calla membantu ibunya di toko yang menjadi satu-satunya sumber penghasilan keluarga mereka. Ayah Calla sudah meninggal sejak dia masih duduk di sekolah dasar, jadi ibu Calla yang harus menjadi tulang punggung keluarga mereka.
Sampai di toko, Calla menghempaskan tubuhnya di atas kursi, melemparkan tas dan sepatunya secara sembarangan. Calla sudah siap mendengar omelan ibunya kalau tahu dia gagal lagi. Dia sudah terbiasa dengan hal itu, terkadang nasehat ibunya hanya masuk ke telinga kanan dan keluar dari telinga kiri begitu saja.
“Bagaimana ujian kamu hari ini Calla?”
Tuh kan, ibu nanya tentang ujianku. Kapan ibu nanya tentang kegiatanku di kampus? Kenapa ibu tidak bisa bangga memiliki anak aktivis seperti aku?
“Aku.. gagal, bu”
“Calla, kamu sudah mahasiswa kan? Kamu seharusnya bisa bagi waktu dengan benar, kalau memang ada kegiatan di kampus, kamu juga tetap tidak boleh lupa belajar. Sekarang kamu belajar sana! Ibu harus mengunjungi teman ibu yang sedang sakit, minta tolong jaga tokonya sebentar ya, nak”
Katanya di suruh belajar, tapi kok di suruh jaga toko juga sih? Nyebelin.
Calla merengut, dia berdiam diri di toko hingga dia merasa bosan. Dia memutuskan menutup tokonya dan berjalan-jalan sebentar. Bunyi kendaraan yang berlalu-lalang sama sekali tidak mengusik Calla yang sedang membayangkan ibunya bisa bangga terhadapnya dan tidak hanya marah-marah. Dia berjalan tanpa arah, dan berusaha menikmati langit yang semakin gelap.
“Kak, kakak mau beli koran?”
“Eh? Ini kan sudah hampir malam, adik kok masih jualan koran?”
“Koranku hari ini belum habis terjual kak, dan aku belum bisa makan”
Kasian, anak ini. Dia harus jualan Koran dulu baru bisa makan? Terkadang, dunia ini memang tidak adil, ya.
Calla mengambil selembar uang di dompetnya dan membeli koran anak itu. Dia sebenarnya tidak suka membaca koran, tapi siapa yang tidak kasian melihat anak yang seharusnya bermain riang ini justru berjualan koran untuk menyambung hidup? Anak kecil itu tersenyum.
“Oh ya, ini kakak ada roti buat kamu”
“Wah, makasih banyak kak! Kak, kakak sedang sedih ya?”
“Eh? Sok tau nih kamu..”
“Kakak habis putus sama pacarnya ya? Hihihi”
“Ih, masih kecil udah ngerti pacaran lagi kamu ini. Haha. Kakak cuma sedih karena gak bisa membuat ibu kakak bangga..”
“Kenapa kak? Dari dulu aku ingin bisa membuat ibu ku bangga kak”
“Kamu pasti bisa membuat ibu kamu bangga”
“Aku belum pernah bertemu ibu, kak”
Calla terenyuh. Dia tidak menyangka bahwa anak di sampingnya ini jauh lebih tidak beruntung darinya. Wajah anak itu terlihat tegar. Anak itu, mungkin hanya satu di antara ribuan anak lain yang tidak bisa menikmati indahnya pelukan ibu.
“Tapi aku yakin, suatu saat nanti, aku akan bertemu ibu, dan aku akan membuatnya bangga kak!”
“Iya, kamu pasti bisa bertemu dengan ibumu dan membuatnya bangga”
“Iya, kakak jangan sedih ya..”
“Terima kasih, kakak merasa bahagia sekali. Mungkin kakak hanya kurang mensyukuri nikmat yang ada. Oh, ya. Kalau koran kamu belum terjual, kamu main aja ke toko kakak di sana”
“Iya, pasti kak! Aku pergi dulu ya kak. Terima kasih banyak”
Harusnya aku yang berterima kasih, dik.
Bayangan anak kecil itu perlahan hilang dari pandangan Calla. Dia bergegas kembali ke toko sambil menghapus air matanya yang mengalir tanpa dia sadari. Calla hanya ingin pulang, memeluk ibunya. Itu saja.
“Callaaa! Kamu dari mana saja? Ibu kan menyuruhmu menjaga toko!”
“Ibu”
Calla berlari menuju ibunya, kemudian memeluknya. Air mata Calla mengalir. Emosi ibu Calla seketika hilang, dia membelai putri satu-satunya itu dengan lembut. Untuk beberapa saat, Calla merasakan sesuatu yang membuat dirinya lebih kuat.
“Calla, ibu bangga punya anak seorang aktivis seperti kamu. Tapi, seorang pemimpin yang baik itu pasti bisa memimpin dirinya sendiri. Dia pasti bisa membagi waktunya dengan baik, kapan dia harus memikirkan dirinya, dan kapan memikirkan orang lain. Ibu mengerti apa yang Calla rasakan, jadi kamu harus tetap berusaha untuk menjadi lebih baik, ya”
“Bu.. Calla janji akan membuat ibu bangga”
Janji itu bukanlah sekedar ucapan yang biasa Calla katakan kepada ibunya. Calla bersungguh-sungguh kali ini. Dia tidak ingin lagi melihat ibunya kecewa. Dia yakin, suau hari nanti ibunya akan tersenyum bangga melihat kesuksesan Calla.

2 komentar:

terima kasih banyak sudah baca dan berkomentar dengan sopan :)